ads

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

SN Bisa Karena Biasa

Avatar photo
Reporter : JEFFRY LEONARDO TAOLINEditor: ADMIN
  • Bagikan

BETUN,flobamorata.com– Alah Bisa Karena Biasa. Pepatah lawas ini sudah lampau digunakan dalam percakapan model metafor, guna menggambarkan suasana atau situasi dalam topik sebuah diskusi. Pepatah ini bahkan sudah diperkuat dalam halaman Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Sejarah Peribahasa Indonesia yang ditulis oleh Jusuf Sharif Badudu, atau sering kita kenal dengan JS Badudu. Sastrawan dan ahli bahasa Indonesia.

Pepatah Alah Bisa Karena Biasa, sejatinya mengambarkan tentang makna segala kesulitan tidak akan terasa sulit lagi apabila sudah sudah sering dilakukan. Atau bisa kita balikan makna itu menjadi segala sesuatu yang dilakukan dengan baik dan berhasil, tentu sudah menjadi kebiasaan yang sering dilakoni. Semua kita, tentu memiliki talenta dan bakat masing-masing yang sudah digariskan lewat makna Alah Bisa Karena Biasa.

ads

Kabupaten Malaka, negeri diujung timur dalam gugusan Pulau Timor, Provinsi NTT, tentu memiliki beragam sosok yang sudah merasakan makna peribahasa ini. bahkan hampir semua kita memiliki pengalaman akan makna peribahasa tersebut, sesuai keahlian kita masing-masing.

Namun berbicara soal sosok yang patut kita lihat rekam jejak dan track recordnya sebagai contoh terkait makna peribahasa tersebut adalah DR. Simon Nahak, SH, MH, Bupati Malaka saat ini. Sosok  yang karap disapa SN kerana diambil dari inisial namanya tersebut, juga tidak luput dari makna peribahasa Alah Bisa Karena Biasa. Pengalaman dan sejarah panjang kehidupan suami drg. Maria Martina Nahak, M. Biomed tersebut, menjadi garansi yang mahal dalam mengantarkan dirinya menuju pemimpin di Rai Malaka [sebuatan lain Kabupaten Malaka dalam bahasa Tetun,red] saat ini.

Desa Weulun, Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka menjadi saksi lahirnya sosok pemimpin besar di Malaka. 13 Juni 1964 atau tepatnya 58 tahun yang silam, pasangan Marselinus Taek dan Bernadeta Hoar yang merupakan petani tembakau dan perajin tenun ikat tersebut diberi berkat seorang bayi laki-laki yang kemudian dinamai Simon Nahak. Sebagai seorang Katholik tulen, pemberian nama Simon tentu memiliki makna “Tuhan Mendengar”, sebagaimana asa yang dan doa dari Bapak Marselinus dan Mama Bernadeta agar Simon kelak menjadi orang yang berguna bagi bangsa, negara, agama dan keluarga.

Baca Juga :  Masih Tersisa 13 Desa Yang Belum Salurkan BLT Di Malaka

Lahir dalam masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, dengan carut marut kehidupan ekonomi yang sulit, tidak membuat Bapak Marselinus dan Mama Bernadeta patah arang untuk mengurus Simon Nahak. Bahkan tidak ada harapan yang muluk-muluk pada saat itu, hanya sebuah keyakinan bahwa Simon Nahak bersama kedua orang tua harus bisa survive dan bertahan hidup dengan kondisi kala itu.

Mengahadapi kondisi yang sulit, memaksa kedua orang tua Simon Nahak tidak bersikap manja pada dirinya. Dididik dengan tegas dalam dekapan kasih sayang, seolah kedua orang tua dengan restu Tuhan dan para leluhur, sedang merancang bagaimana kelak nasib seorang Simon Nahak nantinya.

Tidak ada perlakuan istimewa bagi DR. Simon Nahak SH, MH masa itu. Seperti anak lain pada umumnya, Simon Nahak bersekolah seperti biasa. SDK Weoe 2 menjadi saksi sejarah pertama bagaimana Simon Nahak mengeyam pendidikan formal selama enam tahun. Belajar dengan giat, bekerja dengan tekun dan berdoa dengan khusuk adalah bekal yang didapat Simon Nahak “Kecil” saat itu untuk bertumbuh menjadi sosok yang memiliki masa depan yang baik.

Dengan semangat itu, sejak mengeyam Pendidikan di SDK Weoe 2, dirinya kerap dipercaya menjadi ketua kelas. Bahkan bukan hanya di SDK Weoe saja, jabatan ketua kelas seolah melekat dalam diri Simon Nahak hingga terbawa sampai dirinya mengeyam Pendidikan lanjutan ke SMPK St. Xaverius Kefamenanu dan SMA Sinar Pancasila Betun.

“ Sejak SD hingga SMA, saya selalu menjadi ketua kelas,” ungkapnya singkat menjawab flobamorata.com, Senin 24 Januari 2023.

Baca Juga :  DPC Hanura Kabupaten Malaka Siap Menangkan Paket SBS-WT

Didikan keras dan tegas yang diberikan kedua orang tuanya, diterima dengan rasa syukur tanpa bersungut. Sejak kecil, Simon Nahak sudah diajarkan untuk berkebun. Bahkan selain berkebun, dirinya kerap membantu sang mama dalam urusan dapur mulai dari mencari kayu bakar, menimba air hingga menumbuk jagung menjadi bose, sudah menjadi rutinitas yang dilakoni saban hari.

Disaat anak sebanyanya lagi terlelap dalam mimpi tidur malam mereka, Simon Nahak sudah mulai bekerja meraih mimpinya. Setiap jam 4 subuh dirinya sudah harus bangun dari tidur. Bahkan tanpa harus disuruh, Simon Nahak “Kecil” seolah sudah hafal apa yang harus dikerjakan. Pagi-pagi buta menjadi sohib dirinya dalam menikmati hari baru.

Mulai dari memberi makan dan minum ternak, maklum keluarganya memilihara beberapa ternak seperti kuda, sapi, babi serta ayam, kemudian pergi mencari stok pakan ternak untuk siang di kebun mereka, sembari membawa singkong dan pisang untuk diolah, sudah  menjadi rutinitas pagi sebelum berangkat ke sekolah.

Bahkan setiap waktu senggang dan libur, Simon Nahak sering aktif turun laut untuk menjala ikan. Belajar di sekolah, bertani di kebun dan berladang di sawah serta menjala di laut adalah rutinitas yang tidak bisa dipisahkan dari dirinya.

Dengan hasil kebun yang limpah dari keluarganya saat itu, otak bisnis ayah dari Anastasia MP. Nahak, SH, MKn, dr. Thresita Marselina Nahak,S.Ked dan Albertus Josef Nahak mulai bergerilya mencari laba guna membantu ekonomi keluarga. Mulai dari menjual hasil bumi semisal, beras, kacang hijau, jagung, tembakau, tomat, cabai, pisang dan kelapa hingga ikan asin, selalu dilakukan dari pasar ke pasar bersama orang tua.  Bahkan Simon Nahak harus berjualan hingga daerah Atambua, Ibukota Kabupaten belu dan Kefamenanu, Kabupaten TTU serta pasar-pasar di Kabupaten TTS.

Baca Juga :  SN-KT Diprediksi Kalah Telak Di Rinhat

Anda bisa bayangkan saat itu, bagaimana anak seorang petani bisa memiliki Sepeda Phoenix atau Sepeda Onthel dari hasil jualan hasil bumi tanpa harus berharap dari orang tua. Bahkan bukan hanya Sepeda Onthel, satu unit radio juga berhasil dibeli Simon Nahak saat itu. Radio dan Sepeda Onthel pada saat itu adalah barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh para pegawai pemerintah, guru dan kalangan “Om Baba Serta Aci” saat itu. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi seorang Simon Nahak. Dirinya menghapus paradigma tersebut.

“ Saya ini bukan siapa-siapa, hanya seorang pemuda kampung. Tetapi saat itu siapa sangka saya bisa beli radio dan sepeda phoenix. Semua ini hanya saya rajin belajar dan bekerja bantu orang tua, saya masuk keluar pasar saat senggang untuk berjualan, sehingga saya bisa membeli kedua barang mewah itu, yang bagi kami anak kampung hanya mimpi, tetapi saya wujudkan itu menjadi nyata bahwa anak kampung bisa juga,” kisahnya.

Tentu menjadi pertanyaan refleksi kenapa harus radio yang dibeli, bukan membeli buku, membayar uang sekolah dan kebutuhan pokok lainnya. Namun bagi Simon Nahak dirinya memiliki alasan lain. Soal kebutuhan sekolah tentunya sudah didahulukan sebagai hal utama. Radio adalah corong informasi yang populer saat itu. Bagi Simon Nahak yang rajin belajar dan termasuk cerdas, belajar tidak mengenal waktu, tempat serta ruang. Radio saat itu menjadi alat yang penting untuk belajar. Sebab melalui radio dirinya mengikuti perkembangan dunia dan Indonesia. Bahkan selain RRI, stasiun frekuensi BBC London wajib didengar Simon Nahak saban hari.

“ Saya suka dengar warta berita nasional, makanya radio harus saya beli. Selain warta berita, BBC London menjadi channel idola saya,” ungkapnya.

  • Bagikan