ads

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Awak Pena Batas RI-RDTL Berbagi Kasih Dengan Keluarga Miskin di Belu

Avatar photo
  • Bagikan

Di dalam gubuk kecil itu terdapat dua kamar yang disekatnya dengan sak semen untuk didiami dua orang anak dan lima orang cucunya dapat beristirahat. Tak ada jendela membuat kegelapan selalu meliputi gubuk itu di siang dan malam hari.

Di dalam rumah itu terdapat dua tungku masak dan beberapa perabotan makan yang berserakan. Maklum, saat itu Nenek Elisabet hanya terbaring lemas di tempat tidurnya karena sakit.

ads

Sebenarnya Nenek Elisabet ingin pergi berobat di Puskesmas Halilulik yang jaraknya tak sampai satu Kilo Meter. Sayang, Nenek Elisabet tak punya sepersen pun di kantongnya.

Maklum, Nenek Elisabet bersama sang suami, Yosep Lelo sehari-hari mengumpulkan kayu bakar untuk dijual. Per ikat dihargainya Rp 1.000. Namun, sejak ditinggal sang suami pada Februari 2018 silam, Nenek Elisabet terpaksa harus mengumpulkan kayu bakar sendirian.

“Saya biasa hanya jual 10 ikat saja. Kalau laku semua ya saya bersyukur, tapi kadang hanya dapat Rp 5.000 setiap hari,” tutur nenek yang sudah berusia 80 tahun lebih itu.

Baca Juga :  Sukseskan Swasembada Pangan, Pemkab Malaka siapkan 3.500 Hektar Lahan Pertanian

Dengan penghasilan yang didapatnya, dia harus berhemat untuk membeli beras. “Saya sudah tidak bisa makan jagung lagi. Saya harus makan nasi. Mungkin karena saya sudah tua,” ujarnya sembari tetap terbaring lemas di tempat tidur.

Nenek Elisabet Memiliki tiga orang anak perempuan dan seorang anak lelaki. Ketiga orang anak perempuannya telah berkeluarga. Sedangkan yang lelaki pergi mengadu nasib di Kota Atambua.

Nenek Elisabet tidak tinggal sendirian di gubuk reotnya itu. Dia tinggal bersama seorang anak perempuan bersama suaminya, adik iparnya yang mengalami gangguan jiwa, dan tujuh orang cucunya.

Anak perempuan bersama suami dan sembilan orang anaknya tinggal di samping rumah Nenek Elisabet dengan kondisi rumah yang mirip gubuk Nenek Elisabet. Satu anak perempuannya lagi tinggal di Desa Duakoran, Kecamatan Raimanuk.

Baca Juga :  Soal Mutasi Aparat Desa Laleten, PLT Camat Weliman : Saya Tidak Catut Nama Bupati

Ketiga anak perempuannya itu bermatapencaharian sebagai seorang petani. “Bila ada uang baru saya datang mengunjungi mama;” ujar Lusia Ufa, Anak pertama dari Nenek Elisabet.

Nenek Elisabet mengalami sakit sejak dua hari lalu (21/7/2019). Sudah menjadi kebiasaannya, bila sakit, maka dia hanya bisa tidur sembari berdoa memohon kesembuhan. Bila ada sedikit uang, barulah dia pergi berobat ke Puskesmas Halilulik.

“Kalau sakit, pas ada uang baru pergi puskesmas, tapi kalau tidak ada uang, saya tidur saja. Kalau ada yang beli kayu baru saya gunakan untuk berobat. Kalau tidak ada begini, mau bagaimana?” Demikian tutur Nenek Elisabet dengan mengerutkan dahinya seakan menahan rasa sakit di perutnya.

Nenek Elisabet pun biasanya dibantu anak-anaknya dengan mencari kayu-kayu besar di hutan, bila ada pesanan dari orang lain untuk membuat bangunan. “Kita biasa ada uang lebih kalau ada orang yang mau pesan katun untuk buat rumah, tapi itu juga jarang sekali”.

Baca Juga :  Presiden Jokowi Terima Kunjungan Konsil Bisnis Uni Eropa-ASEAN

Walau kondisinya demikian, Nenek Elisabet tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah seperti PKH atau lainnya. “Kami orang susah, tapi kami tidak pernah terima bantuan PKH. Kami hanya dapat Rastra. Tapi, tidak masalah. Saya masih punya tangan dan kaki untuk berusaha cari makan dan minum, walau hanya cukup untuk hari ini saja,” ucap Nenek Elisabet.

Nenek Elisabet hanyalah gambaran kecil dari Masyarakat miskin yang ada di perbatasan RI-RDTL. Walau tinggal di tepi jalan Halilulik-Betun, tapi dia tidak pernah berharap bantuan dan nurani orang lain untuk berbagi dengannya.

“Saya masih punya dua tangan dan kaki untuk mencari makan. Saya hanya berharap dan selalu berdoa, semoga Tuhan tetap memberi kami berkat untuk bisa hidup,” tuturnya.


Reporter: Ricky Anyan


  • Bagikan