Rumusan pasal tersebut dikuatkan lagi dengan Pasal 241 KUHP yang berbunyi “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”.
Sebagai contoh kasus, Robertus Robet, Dosen Universitas Jakarta (UNJ) pernah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau pemerintah atau badan hukum di Indonesia.
Sebelumnya, Robertus ditangkap pada 2019 dirinya melakukan dugaan penghinaan terhadap institusi TNI. Dirinya mengaku sebagai pembuat video pada saat aksi 28 Februari 2019 mengenai dwifungsi ABRI. Bahkan dalam sidang kasus tersebut di Maret 2019, para ahli pidana dan bahasa mengatakan pilihan kata dan diksi yang dipakai Robertus adalah salah dan tidak tepat.
Lalu bagaimana kalau menghalangi kerja seorang kepala daerah atau bupati? tentu penerapan pasal yang dilakukan juga sama yakni Pasal 207 KUHP dengan sanksi hukum yang tegas. Berdasarkan penjelasan dari situs hukum online “Saat anda mengusir seorang pejabat negara atau pemerintah yang membawa surat tugas maupun jabatannya dilindungi undang-undang maka akan anda kena delik aduan berdasarkan Pasal 207,”.***
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.